Sunday, May 08, 2011

Tentang Lelaki [yang seperti] Tanah


Dia kembali bercerita tentang hentakan-hentakan kesepian dalam kepalanya padaku. Aku mendengarkannya dengan senang, dan seringkali tidak tenang. Kadang kalimatnya tersusun rapi. Terangkai baik dengan begitu indah hingga sayang rasanya kulewatkan walau hanya satu kata. Tapi lebih sering lagi ia bercerita dengan acak dan acak-acakan. Kata-katanya melompat cepat, menceritakan dunia dengan keras dan terburu-buru, kemudian setelah waktu yang tidak lama semuanya berakhir seperti tabrakan beruntun di tikungan sebelah jurang. Lalu dia diam. Lalu dia bicara kembali, mengganti topik semaunya dan kembali mengacak-acak konsentrasiku dengan cerita barunya yang lebih mirip igauan. Atau racauan. Ya, dia meracau dalam ceritanya tentang hari-hari yang tidak terpikir ada oleh orang udik sepertiku.

Dan hari ini dia datang dengan tenang, menyapaku sopan dan betah beramah-tamah sampai aku jengah sendiri. Ah, pasti ada cerita baru yang berbeda. Tak biasanya dia begini tenang dan cenderung dingin. Dan benar saja. Dia mulai bercerita tentang seorang lelaki yang disebutnya seperti tanah. Lelaki yang mengacaukannya dengan semua refleksi yang tepatnya keterlaluan. Lelaki yang sedang dikunjunginya ketika masih saja dia bermimpi tentang masa lalu.

Dia bilang, lelaki itu mengingatkannya pada tanah. Pada banyak jenis tanah. Pada tanah yang diinjaknya, tanah yang mengalasinya berguling dan tertidur di bawah taburan bintang, tanah yang dibentuknya menjadi patung-patung tanpa makna, tanah yang dilihatnya menyangga jajaran tanaman di tebing sana, tanah yang menutupi jasad-jasad saudaranya. Tanah yang sama, yang tidak benar-benar sama, tapi tetap saja tanah.

Lelaki dalam ceritanya itu sungguh digambarkannya seperti tanah: menyediakan dirinya sebagai pijakan agar banyak tanaman dapat tumbuh subur dan berkembang dengan baik. Dia membiarkan dirinya diusik dengan senang oleh hewan-hewan kecil agar mereka bisa hidup nyaman di dalamnya. Lelaki itu benar-benar seperti tanah, membiarkan nutrisinya diserap, sebanyak-banyaknya, oleh siapapun atau apapun yang membutuhkan, cuma supaya mereka tetap hidup, tumbuh, dan berkembang. Dan cukuplah ia percaya bahwa semua yang diberikannya akan terganti berkali-kali lipat nanti. Nanti yang pada waktunya. Nanti yang entah kapan. Tapi lelaki tanah itu percaya. Dan lelaki itu tenang karenanya.

Dia menghela nafas panjang sambil menyeruput wedang jahe yang baru saja kuhidangkan.

Kami diam dan sama-sama kembali menghela nafas panjang. Dan kami terus saja diam sambil membiarkan bayangan lelaki tanah itu hilir mudik di kepala kami.

Wedang jahe mulai dingin dan dia kembali bercerita tentang lelaki tanah itu. Dan aku masih saja mendengarkan dengan senang.



kamar sebelah, saat diburu waktu pergi, 080511