Friday, June 06, 2008

cerita tentang secangkir kopi, dan dia.

Secangkir kopi lagi, buatmu.


Mimpiku denganmu memang tak pernah banyak. Hanya berkisar pada kopi, asap rokok, dan bintang di langit. Tiga tahun berlalu dan mimpi itu masih saja sama.


Sekarang kita mulai bicara mimpi tentang cinta dalam hidup masing-masing. Kamu dan aku dengan dia yang masing-masing dari kita tidak pernah kenal. Lalu kita bicara tentang mimpi kita akan masa depan kita bersama orang itu. Kemudian kita diam. Mungkin salah satu dari kita berpikir tentang andai-andai. Seandainya dalam tiga tahun ini hubungan kita tak dihentikan sampai batas teman, apa mungkin kita akan bicara tentang masa depan kita bersama-sama? Atau mungkin seandainya jarak tidak sebegitu jauhnya, kita tidak berhenti sebagai teman? Tunggu dulu. Siapa yang berpikir andai-andai ini? Mungkin kamu. Mungkin sekali aku. Pikiran bodoh. Dan aku menghentikannya, segera.


Aku tak pernah bisa menjawab dengan tepat siapa kamu dalam hidupku. Teman yang teman dan bukan teman. Sempat menjadi lawan yang lawan dan bukan lawan sekaligus. Waktu mengajarkan kita bahwa manusia berubah. Aku dan kamu yang juga manusia ikut terkena imbasnya. Kita berubah. Entah menjadi lebih apa selain lebih tua.


Kadang, tiba-tiba aku merindumu. Merasa perih yang sangat karena kamu tak tergapai. Tapi lebih sering aku mencukupkan diri pada apa yang ada. Sms, telepon, dan sedikit uraian lewat surat elektronik. Dan sejak tiga tahun yang lalu, tetap begitu.


Pertemuan pertama yang mengingatkanku padamu cuma tentang secangkir kopi di tengah dinginnya udara Kaliurang. Lalu tertawa dan bicara tentang hal yang aku sudah lupa. Sempat senada dalam emosi pada panitia. Lalu kita pulang. Kembali pada hidup masing-masing. Hidup kita sebelum berangkat ke Jogja tahun itu.


Ingatan tentang bagaimana awal kontak lanjutan kita sudah pergi entah kemana. Tahu-tahu ketika tersadar, kamu sudah jadi bagian dari hariku. Obrolan singkat dan diskusi tentang mahasiswa dan dinamika pergerakannya sempat jadi bahasan yang paling sering kita ceritakan. Kamu orang pertama yang tanya padaku apa aku pernah tertangkap polisi karena demonstrasi. Dan sepertinya kamu bangga kalau harus berurusan satu malam dengan kantor polisi. Waktu itu aku pikir kamu gila.


Ternyata kamu memang gila. Gila yang membuatku menertawakan ironi kehidupan. Gila yang membuatku mampu bertahan menikmati pertikaian kecil khas kampus dan politik di dalamnya. Gila yang mengajarkanku ketulusan hidup. Gila yang menyadarkanku pada mimpi tentang edukasi mereka yang tak mampu. Gila yang sempat membuatku berpikir bahwa aku jatuh cinta. Gila yang sama, yang selalu kurindukan.


Ceritamu adalah tentang warung kopi di terminal. Tentang terminal dan hiruk pikuknya. Tentang obrolanmu dengan siapa dan siapa di warung kopi terminal itu. Dan aku ingin ada di sana ketika kamu bercerita. Dengan secangkir kopi. Denganmu.


Ceritamu, adalah tentang rokok gudang garam yang tak lepas dari harimu. Tentang asap yang membumbung. Tentang kepuasan seseorang tentang rokok. Kamu pernah bilang supaya aku jangan merokok. Terus kamu bilang terserah waktu kukejar dengan tanya kenapa. Terakhir kamu cuma abstain waktu kulaporkan kelakuanku yang makin nggak beres dengan produk racun manusia ini. Kalau sekarang ada orang mengepulkan asap dari rokok merek itu, aku akan ingat kamu. Tapi ini berbeda dengan kopi. Aku nggak ingin menghabiskan sebatang rokok denganmu. Aku hanya ingin menemanimu menghabiskan jatah rokokmu hari itu. Lalu menanyakan uang makanmu untuk besok yang kamu habiskan untuk rokok sialan itu.


Ceritamu juga adalah tentang bintang di langit yang katanya bisa kamu lihat jelas dari jendela kamar kost-mu yang katanya harus berbagi itu. Tentang langit Malang yang masih bersih dan membuatmu bisa menikmati bintang. Dan aku harus puas dengan ceritamu. Puas, sambil bermimpi dengan sederhana tentang melihat langit berbintang bersamamu. Berbaring menatap langit, memandang bintang, dan menyadari kecilnya manusia dalam semesta. Melewatkan malam dengan sunyi dan denganmu dalam diam. Mencoba memahami kuasa Dia yang kita sebut Tuhan.


Dulu ceritamu berhenti di situ. Mungkin memang kamu hentikan di situ. Atau kita yang menghentikannya di situ. Berhenti di situ setelah tak lagi membahas aktivitas demonstrasi seperti dulu. Setelah mengurangi jatah waktu membahas politik kampus dan politik luar kampus. Kemudian kita mengganti waktu itu untuk bicara soal hidup, dan kehidupan.


Sekarang, ceritamu bertambah satu lagi. Tentang masa depan. Tentang mimpi yang tersisa. Bukan mimpi untuk jadi apa atau mimpi untuk bikin apa. Tapi mimpi tetang jadi siapa untuk siapa dan hidup bagaimana.


Satu yang kucinta dari ceritamu adalah kamu tidak pernah melepaskan mimpi untuk hidup puas. Untuk hidup yang punya makna.


Sekarang cerita kita berputar tidak jelas. Kopi, rokok, bintang, dia, dan mereka. Kemudian mulai bertanya mau apa, mau bagaimana, dan mau sampai kapan. Tapi yang jelas dalam cerita kita tidak ada kita. Yang ada adalah aku dan kamu. Aku dan kamu dengan kehidupan masing-masing. Aku dan kamu yang ada di tempat yang saling berjauhan. Aku dan kamu yang punya dia dalam keseharian. Aku dan kamu yang berubah dari saat bertemu. Berubah karena waktu. Berubah karena kondisi. Berubah karena pengaruh sana sini. Berubah, karena kita manusia.


Aku berhenti bertanya kenapa Tuhan mempertemukanku denganmu. Aku berhenti karena sudah tahu jawabannya. Jawabannya adalah karena aku harus belajar. Dan darimu aku belajar banyak walaupun tidak banyak belajar. Belajar tentang manusia. Belajar tentang repotnya punya dan tidak punya perasaan. Belajar tentang mencintai cinta yang tidak mencintai kembali. Belajar tentang peran masing-masing. Belajar tentang alasan.

Tentang alasan kenapa manusia dilahirkan dan dibiarkan hidup oleh Tuhan.


Baiklah, aku sudah selesai. Seperti yang pernah kamu tuliskan di lembar biodatamu di Jogja tiga tahun lalu: Tidak ada yang abadi kecuali perubahan.

Dan kita sama-sama tahu, perubahan selalu punya konsekuensi. Selamat hidup. Dengan perubahan.


Dan lagi-lagi, secangkir kopi. Frase ini total mengingatkanku padamu. Mengingatkanku pada kegilaan yang kucintai. Mengingatkanku dengan jelas tentang seorang kamu. Sampai saat ini. Ya, sampai saat ini, ketika kamu sudah merangkul dia yang di sana untuk masa depan. Sampai saat ini, ketika aku telah memohon pada Tuhan untuk memberikan dia yang di sini untuk hidupku.


Terimakasih untuk kopinya.


jatinangor, 2007, 2008