Saturday, December 17, 2011

[kembali] ke Jogja. atau Yogyakarta. dan Solo,



Ke Jogja. Trip? Kurang pas. Travelling? Belum sreg.
Journey. Rasanya seperti itu. Perjalanannya adalah perjalanan yang begitu. Yang tidak pernah selesai dan tidak perlu diselesaikan. Karena selesai artinya benar-benar selesai. Dan bukankah penyelesaian dari hidup adalah tidur panjang yang biasa disebut mati?




Seperti biasa, irama Jogja masih saja membuai saya dalam ketukan nada yang sangat personal dan memanjakan imajinasi sampai di tingkat tertinggi. Sesuatu yang sangat sulit saya dapatkan di kota yang saya tinggali sekarang ini. Di mana? Sebut saja namanya Kota B [bukan nama sebenarnya].




Entah dari mana asalnya, Jogja memberikan saya semacam rasa rindu yang aneh, yang begitu eksotis, yang menggoda saya untuk kembali dan kembali lagi ke sana, tidak peduli dengan siapa saya harus pergi. Tidak peduli dengan angkutan apa saya berangkat dan kembali. Tapi tetap saja, favorit saya adalah kereta api. Lebih spesifik: kereta api ekonomi malam yang tidak dalam kondisi penuh padat.




Jogja kan panas. Iya, Jogja panas. Anehnya, saya tetap betah jalan kaki di sepanjang jalanan Jogja. Alasan pertama adalah karena nggak ngerti jalur angkutan umum Jogja, dan alasan kedua [yang sebenarnya paling penting] adalah karena saya memang suka. Jalanan yang masih ramah, suasana yang memanjakan isi kepala saya, perkenalan-perkenalan kecil di sepanjang jalan, sisihan-sisihan waktu di warung kopi atau warung apapun yang dihampiri untuk berteduh atau melepas haus, dan lain-lain, dan lain-lain, adalah alasan-alasan tambahan yang tidak di-ada-ada-kan.




Angkringan, kopi, obrolan ngalor ngidul, dan waktu yang tidak pernah terasa lama. Ini yang membuat liburan ke Jogja tidak pernah terasa cukup. Ini juga yang membuat saya berkhayal alangkah menyenangkannya kalau bisa jadi bagian dari kota ini.




 . . .




Dan Jogja, membiarkan saya kembali jatuh cinta, pada apapun. Jatuh cinta yang tidak sakit, karena segera bisa mendarat dengan tepat dan terus berjalan. Seperti diberitahu bahwa jalan di depan memang satu arah, tapi tidak cuma ada satu jalan. Hidup berubah. Dan saya percaya itu artinya adalah menjadi lebih baik, selama manusia mau belajar, atau bisa belajar, atau bisa dan mau belajar.




_______________ begitulah _______________



Perjalanan berikutnya adalah Solo, atau Surakarta. Tapi nanti saja lagi, perjalanan saya di Solo masih terlalu singkat untuk bisa benar-benar memahami iramanya.





Pojok timur Bandung, ujung 2011 yang belum sampai.

Tuesday, August 30, 2011

soal sepi yang tidak ada

aku merindumu dalam tidak tahu,
saat angin enggan datang dan sepi mulai tersenyum manja.

aku memimpikanmu dalam tidak ada,
ketika kosong ternyata lebih berarti daripada terisi.

kemudian tidak ada kantuk ataupun kopi.

seperti berada pada malam yang bukan malam dan hampa yang isinya berantakan.
dan detik mengalir terlalu lambat untuk kuhitung,
sementara sadarku menguap ditelan pekat.

harmoni cemas dan gelisah rupanya tak sedemikian merdu untuk bisa mengantarku pada hening yang kutunggu tanpa pernah datang.
perlahan mengoyak peduliku pada dunia yang tidak bisa kupilih lagi.

aku membencimu dan mencintamu pada jalur yang sama.
yang tidak pernah berhenti bertabrakan dan menabrakkan diri ketika jemu datang tanpa permisi.

kemudian sepi menawariku untuk terbunuh dalam ramai.
sudah terlalu konyol untuk kuiyakan.


ah, waktu.
bahkan sepi pun enggak bermalam barang sejenak denganku.



sebelah kiri akuarium, 2011

Sunday, May 08, 2011

Tentang Lelaki [yang seperti] Tanah


Dia kembali bercerita tentang hentakan-hentakan kesepian dalam kepalanya padaku. Aku mendengarkannya dengan senang, dan seringkali tidak tenang. Kadang kalimatnya tersusun rapi. Terangkai baik dengan begitu indah hingga sayang rasanya kulewatkan walau hanya satu kata. Tapi lebih sering lagi ia bercerita dengan acak dan acak-acakan. Kata-katanya melompat cepat, menceritakan dunia dengan keras dan terburu-buru, kemudian setelah waktu yang tidak lama semuanya berakhir seperti tabrakan beruntun di tikungan sebelah jurang. Lalu dia diam. Lalu dia bicara kembali, mengganti topik semaunya dan kembali mengacak-acak konsentrasiku dengan cerita barunya yang lebih mirip igauan. Atau racauan. Ya, dia meracau dalam ceritanya tentang hari-hari yang tidak terpikir ada oleh orang udik sepertiku.

Dan hari ini dia datang dengan tenang, menyapaku sopan dan betah beramah-tamah sampai aku jengah sendiri. Ah, pasti ada cerita baru yang berbeda. Tak biasanya dia begini tenang dan cenderung dingin. Dan benar saja. Dia mulai bercerita tentang seorang lelaki yang disebutnya seperti tanah. Lelaki yang mengacaukannya dengan semua refleksi yang tepatnya keterlaluan. Lelaki yang sedang dikunjunginya ketika masih saja dia bermimpi tentang masa lalu.

Dia bilang, lelaki itu mengingatkannya pada tanah. Pada banyak jenis tanah. Pada tanah yang diinjaknya, tanah yang mengalasinya berguling dan tertidur di bawah taburan bintang, tanah yang dibentuknya menjadi patung-patung tanpa makna, tanah yang dilihatnya menyangga jajaran tanaman di tebing sana, tanah yang menutupi jasad-jasad saudaranya. Tanah yang sama, yang tidak benar-benar sama, tapi tetap saja tanah.

Lelaki dalam ceritanya itu sungguh digambarkannya seperti tanah: menyediakan dirinya sebagai pijakan agar banyak tanaman dapat tumbuh subur dan berkembang dengan baik. Dia membiarkan dirinya diusik dengan senang oleh hewan-hewan kecil agar mereka bisa hidup nyaman di dalamnya. Lelaki itu benar-benar seperti tanah, membiarkan nutrisinya diserap, sebanyak-banyaknya, oleh siapapun atau apapun yang membutuhkan, cuma supaya mereka tetap hidup, tumbuh, dan berkembang. Dan cukuplah ia percaya bahwa semua yang diberikannya akan terganti berkali-kali lipat nanti. Nanti yang pada waktunya. Nanti yang entah kapan. Tapi lelaki tanah itu percaya. Dan lelaki itu tenang karenanya.

Dia menghela nafas panjang sambil menyeruput wedang jahe yang baru saja kuhidangkan.

Kami diam dan sama-sama kembali menghela nafas panjang. Dan kami terus saja diam sambil membiarkan bayangan lelaki tanah itu hilir mudik di kepala kami.

Wedang jahe mulai dingin dan dia kembali bercerita tentang lelaki tanah itu. Dan aku masih saja mendengarkan dengan senang.



kamar sebelah, saat diburu waktu pergi, 080511

Saturday, March 26, 2011

saya sudah memilih.


Saya mungkin mudah terpengaruh. Mungkin juga mudah memengaruhi. Dan mungkin juga tidak. Karena apapun mungkin, jadi sama sajalah. Sama-sama mungkin yang bisa menjadi tidak mungkin karena ya itu tadi: apapun mungkin.

Sepertinya sudah waktunya saya mengaku: saya lelah dengan bahasan-bahasan dan persepsi orang-orang soal cinta. Segala definisi yang ditulis di sana sini membuat saya muak dan semakin tidak mendapat apa-apa. Tentu saja, karena itu adalah cinta mereka, bukan cinta saya, kalau itu ada.

Tapi ada kok, pasti ada yang namanya cinta saya, kalau memang cinta itu benar-benar ada dan bukan tokoh fiktif favorit manusia. Isi kepala saya menggerenyam tidak menentu setiap kali saya memikirkan soal beginian. Mungkin dia kesal karena saya memasukkan terlalu banyak kemungkinan yang mungkin seringkali tidak ada gunanya atau mungkin terlalu berguna. Ah ya, saya harus berhenti berpikir di sini. Kelanjutannya akan membawa saya terlalu jauh dan lupa jalan pulang sehingga bisa saja tidak kembali dalam waktu yang lama atau seterusnya. Atau bisa jadi kembali karena tidak jadi pergi. Jadi saya cukupkan soal si cinta karena bukan itu yang mau saya tulis tadinya.

Saya baru saja memilih. Atau memutuskan pilihan. Dan menurut saya itu benar, tentu saja benar karena ini menurut saya dan berhubungan dengan saya dan hidup saya kalau Tuhan masih mau memberi saya hidup. Egois. Tentu saja egois karena saya manusia dan saya hidup dengan memikirkan kepentingan saya seperti manusia-manusia lain juga hidup dengan memikirkan kepentingan mereka meskipun seringkali mereka bilang itu adalah demi orang lain. Padahal minimalnya itu adalah supaya mereka tidak tersakiti karena membiarkan orang lain tidak bahagia. Mungkin begitu. Mungkin juga tidak, tapi biar sajalah.

Saya memilih karena saya percaya. Dan saya tahu sebagian orang akan mencemooh saya karena alasan saya memilih. Saya tahu akan ada orang-orang yang menyebut saya emosional dan terburu-buru karena saya memilih ini. Tapi, seberapa jauh mereka mengenal saya dan dunia saya? Seberapa jauh mereka memahami saya dan kebutuhan saya? Kebutuhan saya, secara spesifik. Bukan kebutuhan seorang perempuan berusia dua puluh empat tahun. Karena saya bukan hanya seorang perempuan berusia dua puluh empat tahun, seperti orang lain juga bukan hanya itu. Ah. Emosi saya menanjak lagi. Saya harus tarik nafas sejenak sebelum meledak.

Ada satu momen pada hidup saya ketika saya benar-benar hancur. Hancur karena kehilangan lebih dari separuh diri saya. Hilang karena dia yang saya titipi diri saya itu pergi tanpa sempat berpamitan karena dipanggil oleh pemiliknya yang sebenarnya. Satu-satunya orang yang saya percaya seperti saya percaya pada diri saya sendiri. Satu-satunya orang yang sangat tahu tentang cerita saya yang orang lain tidak tahu dan tidak perlu tahu. Satu-satunya yang kemudian menjadi tidak ada lagi karena sudah beristirahat dengan tenang di sisi-Nya. Lalu diri saya yang tinggal separuh itu berusaha membuat dirinya utuh kembali. Yang terjadi kemudian adalah satu demi satu bagiannya merapuh dan hancur. Sedikit demi sedikit. Dan tidak ada lagi yang dipedulikannya benar-benar. Hidup cuma permainan dan mimpi adalah kebohongan untuk anak kecil. Hidup seaadanya dan bersenang-senang sekedarnya adalah pilihan yang bagus. Dan begitulah.

Waktu berjalan dan isi kepala ini tidak pernah berhenti berteriak. Malam-malam tanpa tidur dan hari-hari tanpa rasa nyaman. Tertawa yang tertawa dan menangis yang menangis. Kosong itu tidak pernah terisi.

Sampai pada saatnya saya memilih untuk kembali percaya. Dan merasa kembali utuh. Dan waktu kembali berjalan. Sampai pilihan itu ditolak dan dihujamkan ke dasar tanah terbawah dan terendah yang bisa dicapai. Kemudian saya muak pada hidup meskipun hidup tidak punya salah apa-apa pada saya. Saya berteriak dan tidak ada gunanya.

Tuhan, kali ini saya tidak mau mengalah. Mereka tidak pernah tahu ketika saya terjatuh dan berdarah. Mereka mengukur pilihan saya dari ini dan itu yang mereka pahami dan saya tahu itu tidak salah. Tapi bagaimana dengan saya? Seberapa paham mereka tentang saya dan bagian diri saya yang tidak pernah bisa saya ceritakan dengan kata-kata? Mereka tidak pernah mau tahu dengan keberisikan di dalam kepala dan kepanikan di hati saya. Buat mereka, saya adalah sama saja dan biasa saja. Karenanya harus hidup dengan cara biasa dan biasa-biasa yang lainnya seperti apa kata buku panduan anu dan itu atau kata pakar anu dan itu. Mungkin begitu. Atau mungkin cuma karena saya tidak pernah bisa membiarkan mereka mengerti saya karena saya tidak percaya. Karena saya dengan jahatnya tidak mau memercayai siapa-siapa.

Tuhan, saya sombong sekali di sini. Bicara seolah-olah saya yang benar dan mereka yang salah. Padahal tidak. Saya sudah menyakiti banyak sekali. Melukai banyak sekali. Tapi Tuhan pasti tahu alasan saya memilih. Dan Tuhan pasti tahu kalau saya tidak melulu bicara cinta dan mengatasnamakan cinta ketika saya memilih kali ini. Tuhan, saya benar-benar tidak mau mengalah. Bukankah saya sudah bilang, konsekuensi ditanggung sendiri?


ujung hati sebelah kiri yang tidak ada, 260311