Tuesday, May 25, 2010

tentang langit biru, perempuan itu, dan lelaki dalam pikirannya.


" Langit, ia menyuruhku untuk berhenti. . ." adu perempuan itu.
Nada bicaranya terdengar tidak rela mengucap kata-kata barusan. Ia terdiam, kemudian merebahkan dirinya di rerumputan.
Menatap langit, bisu. Dan memutar ulang semua rekaman memorinya tentang lelaki itu.
Lelaki penyuka langit biru yang pernah mengantarnya menemui bintang. Lelaki yang menaburi mimpi malamnya dengan rasa manis yang lalu menjadi candu untuknya.
Candu untuk perempuan pemimpi yang memuja malam dan mencintai sunyi.

. . .

Perkenalannya dengan lelaki itu berlangsung singkat. Demikian singkatnya hingga ia tak lagi teringat apa yang perlu diceritakannya tentang itu.
Samar-samar ingatannya berkelebat pada kopi instan, penunjuk waktu digital, motor dengan suara berisik, dan jaket abu-abu pinjaman. Dan sms penuh sanjungan yang masih disimpannya baik-baik hingga sekarang.

Hingga sekarang, saat perempuan pemimpi itu tahu bahwa tidak akan pernah ada cerita tentang dirinya pada hidup sang lelaki seperti ada cerita tentang lelaki penyuka langit biru itu pada hidupnya.

. . .

"Langit, kuharap ingatanku tentang kata-katanya yang pernah kudengar itu tidak meleset. Kuharap kata nyaman yang pernah disampaikannya padaku itu tidak palsu. Walaupun itu hanya berlaku di waktu itu. Setidaknya kuharap dia sempat merasakan aku ada..."

Perempuan itu masih memandang langit biru di hadapannya dengan nanar. Air matanya sudah kering sejak semalam. Dan sesak di dadanya tak juga berkurang.
Dia menjulurkan tangannya, berharap mampu meraih biru itu. Kemudian tertawa miris, menyadari bahwa mustahil adalah mustahil dan frase "tidak mungkin" menyuruhnya untuk menyerah. Tidak peduli seberapa banyak ia telah terjatuh dan berdarah-darah.

Lelaki bermata hidup yang menyukai warna merah itu sudah tidak di sana untuk menemaninya. Tidak akan ada lagi tangan jahilnya yang semena-mena merangkul perempuan itu ketika sedih.
Tidak akan lagi ada tangan yang menyamankannya dengan usapan sembarangan di kepalanya yang mudah panas itu. Tidak akan ada lagi untuknya.

Tidak lagi untuknya.

Perempuan itu masih berbaring di rerumputan. Menikmati harum daun dan udara selepas hujan deras. Dibiarkannya sisa-sisa air hujan mengubah warna busananya menjadi lebih gelap. Dan kotor. Dan menuntut untuk diganti.
Tapi perempuan itu tak juga berniat untuk bangkit dan meninggalkan langit yang masih biru. Biru terang walau itu adalah sehabis hujan.

. . .

Pertemuan-pertemuan berikutnya berjalan biasa dan menjadi luar biasa dengan tawa lepas yang sudah lama tidak terdengar dari perempuan pemurung dengan isi kepala yang berisik itu.
Menikmati waktu, malam, cahaya, dan inspirasi.
Percaya bahwa perlindungan ada dalam genggaman erat di sepanjang jalan menuju ke tempat yang pernah menjadi jalur biasa itu. Perempuan itu kemudian sempat merasa aman ketika ada lelaki itu dalam detik berjalannya. Aman yang kemudian membuatnya percaya bahwa lelaki itu merasakan sama ketika bersamanya.
Percaya dengan dungu bahwa ada nyaman yang membuat lelaki penyuka langit biru itu mau tersenyum padanya. Percaya bahwa lelaki itu memang akan menemaninya. Entah dalam kapasitas apa.

Ah ya.
Perempuan itu merasa bahwa lelaki itu sempat kerap menggodanya. Sengaja atau tidak. Dengan kata-kata dan emosi naik-turun yang membuat perempuan itu terpaksa menyembunyikan wajah yang memerah di luar kontrol dirinya.

Lalu semua jadi kelihatan manis.
Sungguh. Itu benar-benar momen yang kelihatan manis dan membuat perempuan itu merasa menjadi perempuan. Merasa yang tidak sebaiknya dirasakan kebanyakan perempuan. Merasa yang melemahkan, tapi mengantarkan senyum dalam jumlah lebih banyak dari biasanya.

Momen manis yang b e n a r - b e n a r singkat.

Kemudian itu semua menjadi tidak ada lagi.

Lelaki itu lalu tidak pernah lagi menggenggam tangannya seperti dulu. Tapi dia masih berjalan mengiringi perempuan peragu itu. Lelaki itu masih memilih ada.

Kemudian dan kemudian lagi lelaki itu mulai berjalan lebih cepat, meninggalkan perempuan lamban itu dan mengejar harinya. Menolak ucapan jujur perempuan itu dan memaksanya memasukkan kalimat itu ke dalam kotak es. Mengulangi kalimat yang sama tentang perempuan itu yang bukan perempuan itu yang pertama dikenalnya.
Dan menjauhkan dirinya ketika perempuan itu mencoba bertanya lebih jauh.

Tidak ada jawaban. Lelaki itu tidak bersedia membagi dunianya dengan perempuan pemimpi yang terlanjur memasukkan unsur hati dan rasa dalam keseharian itu.
Lelaki itu tidak memilih perempuan pemimpi.

Saat itu perempuan pemimpi itu sadar: dia bermimpi terlalu tinggi.

Lalu ia masukkan semua indikasi yang mungkin salah dibacanya di awal hari mereka ke dalam peti. Dengan lara. Dengan luka baru yang menganga di atas luka lama yang tidak pernah diobati karena tidak pernah diakui ada.
Perempuan itu tahu rasanya perih. Dan sekali lagi: dianggapnya luka itu tidak pernah ada.

. . .

Hujan mulai turun lagi dan langit masih saja biru.
Perempuan itu memandangi cincin yang melingkari jari manisnya. Dikecupnya pelan cincin milik lelaki itu yang pernah diambilnya dengan izin. Sambil berdoa. Semoga lelaki itu menikmati langit birunya. Semoga lelaki itu tetap tersenyum dengan sorot matanya yang lebih hidup dari siapapun juga.

Untuk pertama kalinya, perempuan dengan terlalu banyak pertimbangan itu mengakui bhwa ia mencintai lelaki penuh cerita yang tulus mencintai keluarganya itu.


Hela nafas perempuan itu semakin berat.

"Langit... aku tidak mau ada selamat tinggal atau sampai jumpa lagi dalam ceritaku dengannya. Biarlah dia dan biarlah aku... "

Perempuan keras kepala itu menghela nafas panjang sebelum kemudian memejamkan matanya.

Air matanya masih ada.







sebelah kiri langit biru dan bintang. persembahan untuk diri sendiri yang masih ada.



terimakasih untuk inspirasi terbesar dalam ratusan hari.
perempuan itu bilang pada saya: dia [sepertinya] mencintai kamu dengan cara yang tidak wajar. dan dia menyayangi kamu dengan entah apa namanya itu. saya lupa mencatatnya tadi. nanti saja kamu tanyakan langsung kalau sempat menemuinya.



selamat menikmati :)


_ruang bebas, 25 Mei 2010_

Monday, May 24, 2010

[semacam] prolog

" Langit, ia menyuruhku untuk berhenti. . ." adu perempuan itu. Nada bicaranya terdengar tidak rela mengucapkan kata-kata barusan.
Ia terdiam, kemudian merebahkan dirinya di rerumputan.

Menatap langit, bisu.
Dan memutar ulang semua rekaman memorinya tentang lelaki itu.

Lelaki penyuka langit biru yang pernah mengantarnya menemui bintang.
Lelaki yang menaburi mimpi malamnya dengan rasa manis yang lalu menjadi candu untuknya.

Candu untuk perempuan pemimpi yang memuja malam dan mencintai sunyi.

. . .



Friday, May 07, 2010

katanya begitu

katanya, jalani saja apa yang benar.
katanya lagi, kerjakan saja apa yang tepat menurutmu. dengan penekanan pada kata tepat.
dan lalu saya tertawa mendengarnya. astaga. tepat belum tentu benar dan benar belum tentu tepat rupanya.

lalu saya tanya tentang ukuran benar dan tepat.
katanya, benar adalah mengenai aturan yang sudah ada dan disepakati bersama entah dalam bentuk apa.
sementara, tepat adalah pas. adalah benar yang kontekstual, kondisional. adalah tidak salah yang pada saatnya. dan ukurannya adalah diri sendiri, di bagian akal, bukan perasaan. atau fleksibelnya: bukan hanya perasaan.

saya teringat kalimat seorang kawan yang menyatakan bahwa dia berjalan dengan pikirannya sendiri. [tekanan] lingkungan sudah tidak berpengaruh padanya. dan saya berpikir waw. kenapa? karena saya belum sampai di situ. belum di tahap [egois] itu sepertinya. masih saja dibuat emosi karena pertimbangan anu dan itu dan lain-lain dari si lingkungan tadi itu.
dan tentang benar dan tepat, saya kembali tertawa. senang. dilengkapi bingung.

ini lalu bersambut dengan pilihan saya saat ini. pilihan tentang jenis hidup yang saya jalani, yang katanya jauh dari menuju kondisi mapan. beberapa malah melihatnya sebagai kondisi depresi yang diawali dengan "daripada enggak . . . "
saya tertawa loh waktu ada komentar ini. tertawa yang sungguhan. getir dan miris. kasihan.
kasihan dengan cari aman. kasihan dengan jaminan kemapanan yang tidak pernah mapan. kasihan dengan satu jalan yang dilihat seolah-olah hanya ada jalan itu untuk bertahan dan berkembang. kasihan karena penjatuhan judgement tanpa tahu medan, tanpa tahu seberapa benar yang kelihatan dan kedengaran.
iya maaf, saya jadi memuakkan. tapi saya kasihan.

saya hidup dengan sadar tentang pilihan dan konsekuensi.
tidak punya rasa takut? punya! sangat besar malah. ketakutan tidak beralasan pula.
lalu kenapa?
karena menurut saya hidup itu untuk dinikmati dengan bahagia. dan bermanfaat. dan saya memilih untuk mencari jalan ke sana dengan proses yang saya pikir tepat untuk saya. untuk orang lain tidak tahu lah. biar mereka pikir sendiri yang tepat untuk mereka.
tidak semua orang harus lewat jalan yang sama untuk sampai di tempat tujuan kan? kalau ada jalan lain yang bisa dinikmati atau mungkin lebih dinikmati, kenapa pula saya harus lewat jalan yang sama dengan semua orang yang [katanya] menuju ke sana itu?
ah, ini egoisnya saya. saya cuma tidak mau menyesal. tidak mau lagi menyesal.


idih tulisannya jadi panjang.
curhat dah ini terus.
hahaha. maaf saya nulis ini. maaf kalau ada yang tersikut maksud saya.
tapi beginilah, saya cuma mau bilang kalau saya memilihnya dengan alasan saya soal hidup. saya memilihnya karena tujuan sudah saya lempar jauh di depan sana. dan ini waktunya.
melakukan yang benar atau yang tepat? saya memilih yang tepat.
maaf kalau saya bukan orang baik. saya cuma tidak mau menjahati dengan sengaja.
pilihan sudah saya ambil. konsekuensi sudah saya masukkan dalam daftar pertimbangan pertama.
dan sekarang adalah waktunya menikmati. begitu bukan?
:)

terimakasih sudah peduli.
saya percaya kalau hidup adalah untuk bahagia.




loteng atas sebelah kanan, duapuluhduamaretduaribusepuluh