Sunday, October 26, 2008

kamu

mencintai kamu, seperti masuk dalam labirin yang tak berujung.
membingungkanku dalam tiap liku dan simpangan.
membuat semuanya menjadi tidak pasti.
sampai saat ini. . .



Saturday, October 04, 2008

Pernah merasa bingung sama diri sendiri?


Saya pernah. Kalau lagi kalut malah jadi lumayan sering.

Biasanya, saya bertanya-tanya seperti ini dalam hati:

Kok bisa jadi begini ya? Kok bisa-bisanya saya melakukan itu? Kenapa saya sempat berpikir kalau itu nggak apa-apa? Otak saya ditaruh mana sih waktu itu? Kok nggak dipakai???


Dilanjutkan dengan mengumpat sekedarnya.

Dan kemudian merasa bingung dengan apa yang sudah terjadi.


Lalu setelah terjadi berkali-kali, lahirlah kesimpulan yang semena-mena:

Ada satu sisi lain lagi di sini.

Satu bagian yang sepertinya sangat tidak puas dengan saya yang biasanya.

Bagian diri yang berpikir belakangan setelah bertindak.

Kemudian menjadi saya yang nggak mau manut begitu saja ketika diatur-atur seperti biasa. Saya yang maunya bebas melulu. Saya yang tidak keberatan jadi orang gila. Saya yang bisa menikmati ketidakwajaran yang biasanya dihindari.

Bagian diri saya yang bisa berpikir begini.


another part of me...?



Mungkin sebuah sisi yang berbeda secara agak ekstrim dari biasanya. Tentang lompatan-lompatan pemikiran, kelakuan-kelakuan terpendam, rahasia-rahasia yang tidak terkatakan, atau semacamnya.

Sesuatu yang disadari ada tapi lebih sering ditiadakan secara kasat mata namun tetap eksis di belakang sini.


Sisi lain dari diri, sisi yang dibagi dengan tidak merata pada beberapa orang yang tersangkut secara sengaja dan tidak sengaja. Sisi yang dibenci dan demi stabilitas lebih baik tidak diungkap. Sisi yang kadang menguat dengan sendirinya dalam kesendirian yang menyenangkan.


Sepertinya, saya terobsesi dengan ketidakjelasan hidup. Merasa senang berbincang tentang hidup yang abstrak, tentang sesuatu yang tidak punya sekat jelas, tentang sesuatu yang belum pasti atau mungkin tidak pernah pasti, tentang utopia, tentang celah pemberontakan dalam keteraturan, atau tentang sesuatu yang seperti itu.


Di satu sisi saya ingin jadi orang biasa yang sama seperti orang-orang biasa lainnya. Di sisi lain saya jenuh dengan stabilitas yang ada. Trouble addict, kata seorang kawan. Saya mungkin nggak akan bisa hidup tanpa masalah yang mengacaukan, begitu katanya.


Benar atau tidak saya nggak ambil pusing.


Inkonsisten.

Mungkin saya seperti itu. Meledak-ledak, kemudian tenang. Mengharapkan ketenangan, kemudian bosan dan membuat keributan. Berhati-hati agar tak bermasalah dengan orang lain, kemudian gusar dan kembali bermain api.

Stabil dan tidak stabil sekaligus.

Ingin jadi orang baik dan dengan cepat menjadi tidak peduli pada aturan untuk jadi orang baik dalam sekali jalan.


Tidak tahu mau apa.

Mungkin masih tersesat dalam ketidakdewasaan.

Kadang saya berpikir seperti itu. Kadang juga lupa berpikir.


Tapi kehidupan sosial tidak menerima kondisi seperti ini. Status sebagai makhluk sosial mengharuskan saya memilih satu diantara dua yang bertentangan.

Dan saya memilih karena saya tahu saya nggak bisa hidup sendirian.

Saya memilih. Walau kadang akhirnya saya sering terpeleset jalan. Paling tidak saya mencoba menstabilkan diri dengan yang namanya adaptasi. Menyingkirkan ketidaknyamanan yang timbul dan menerimanya sebagai bagian dari hidup yang “memang seperti ini”.


Kehidupan sosial untuk saya seringkali adalah kehidupan yang melelahkan. Harus begini dan begitu sesuai aturan. Ketersimpangan dari kondisi yang “biasanya” atau perbedaan diri dengan teori yang ada akan melekatkan cap gila. Itu yang saya terima dari lingkungan sosial.

Menjadi berbeda adalah biasa, tapi menjadi selalu berbeda adalah gila.


Sepertinya saya orang yang punya kebutuhan tinggi untuk diterima, sekaligus punya ketakutan tinggi tentang kondisi ditinggalkan. Menjadi ekstrim berarti menarik diri dari kemungkinan penerimaan orang lain. Memilih keekstriman berarti mengiyakan ketidakseimbangan, dan itu tidak boleh dipertahankan jika ingin diterima. Entah dari mana saya belajar seperti ini.

Atau lebih tepat, merasa bahwa kenyataan memang seperti ini.


Saya belajar bahwa untuk bisa diterima, saya tidak boleh meneriakkan semua yang ada dalam kepala saya begitu saja. Saya harus memilih dan memilah mengeluarkan apa untuk siapa dalam kondisi bagaimana dengan cara apa. Kadang-kadang, ini membuat saya menjadi manusia yang sukanya cari aman. Tidak mau ribut, dan lebih suka mengikuti maunya orang lain.

Dan setelah sekian lama, kondisi ini membuat saya jadi manusia yang muak pada dirinya sendiri yang seperti ini. Menjadi manusia menyedihkan yang sempat rela kehilangan eksistensinya dalam diri sendiri demi membuat orang lain senang dan menerima keberadaan diri.

Benar-benar kasihan.


Another me? Itu cuma candaan, sebutan saya untuk sisi lain dari cerita diri ini yang tidak banyak diketahui orang. Tidak keluarga, tidak teman-teman dekat saya, tidak juga orang terdekat saya. Kadang orang lain yang tahu. Orang lain yang benar-benar orang lain. Orang lain yang asing, yang baru saya temui atau bahkan tidak saya kenal. Orang lain yang tidak terkait secara langsung akan kebutuhan saya tentang penerimaan.


Saya masih seperti ini.


Berpikir dengan melompat-lompat tanpa arahan jalur. Bertindak dengan frekuensi lupa yang keluar batas toleransi. Bersikap semaunya. Memberontak pada cap orang lain tentang diri yang kelihatan. Membantah tapi tidak mengeluarkan bantahan. Bersembunyi di balik kesalahpahaman yang disyukuri. Merasa bersalah karena menipu dengan sengaja dan tertawa dalam tangis kemudian menangis dalam tawa.


Yang itu saya.

Yang ini juga saya.

Yang mana juga saya.


Tidak stabil. Tidak suka diprediksi.

Suka cari perhatian dengan cara kelewatan. Suka sok tahu tentang diri sendiri. Suka sok tahu juga tentang orang lain.

Menyebalkan. Senang menjadi menyebalkan. Mudah bosan. Mudah beralih dari kebosanan.

Begitulah.


Ini saya. Paling tidak saya tahu ini memang saya saat saya menulis ini.


Saya pikir kebanyakan orang tahu kalau biasanya manusia tak hanya punya satu sisi. Manusia punya sisi yang tak tampak oleh orang lain. Saya manusia. Jadi saya punya sisi itu.

Dan inilah potongan-potongan cerita dari sisi yang itu, yang berteriak ingin keluar sebagai saya. Keluar di sini. Lewat kata-kata.


nb. setelah nulis ini saya jadi makin nggak ngerti...