Saturday, December 20, 2008

satu dan dua dari kita?


benarkah kita tau apa yang ada di sini?
coba tanya hati itu,
tanya lagi pada masing-masin dari kita,
siapa yang sebenarnya ada?

satu dan dua dari kita menutupi kosong itu dengan keberadaan yang lain,
saling mengalihkan pandangan, berusaha mencari kesesuaian yang sama dengan yang pernah ada bersama dia yang biasa...

satu dan dua dari kita mungkin hanyalah orang yang salah di waktu yang tepat, atau sebaliknya, atau bukan dua-duanya...

mungkin kita cuma orang yang numpang lewat dalam hidup orang lain.

dan aku menerimanya dengan sadar. kondisi ini, dan sega konsekuensinya.
ditinggalkan atau meninggalkan. atau kalau beruntung, akan ada opsi berikutnya.

inilah hidup. dan kehidupan.

aku tak harus merasa keberatan jika ternyata harus menjadi pelarian sementaramu,
agar kamu tak terlalu terluka, agar amu bisa pulih dan kembali mencintai yang layak kamu cintai.

mungkin saat kamu pulih nanti, kamu tahu bukan aku yang kamu cari.

dan jika memang saat itu harus tiba,
aku sudah tahu,
dan aku tidak menyesal...
:)


kepada seseorang, semoga kamu nggak baca tulisan ini... ini cuman kesemena-menaan hati saya dalam hening malam yang tidak mau berkompromi dengan rasa sakit dan ketakutan akan kehilangan.

taman mimpi di atas tempat tidur tercinta, akhir 2008...

Wednesday, December 17, 2008

biarkan,

biarkan saya mencinta dengan cara saya,


cara yang nggak perlu kamu kritisi seperti kamu mengkritisi tugas anak-anak baru atau draft seminar teman-teman kamu,


cara yang mungkin nggak normatif seperti apa yang 'seharusnya' ada di dalam pikiran orang pada umumnya,


cara yang nggak butuh legalitas teori seperti apa yang mereka yang hidup di zaman dulu itu kemukakan,


cara yang mungkin salah, mungkin juga benar,

dan lebih mungkin lagi tidak perlu dinilai.


Monday, December 15, 2008

gamang

gamang.
ternyata rasanya begini.
ketika ada sesuatu di luar kendali diri sebagai individu untuk memutuskan.

gamang yang tak berhenti di satu tempat.
harus disampaikan walaupun tak bisa.
menunggu waktu yang tepat.

tapi kapan?
adakah waktu yang cukup tepat?
adakah luang yang bisa tak terisi padat?

hidup berjalan begitu cepat.

dan entah kenapa,
kaki ini tak menjadi kuat.


Saturday, December 13, 2008

mimpi itu, di bulan itu,


Kamu pikir, aku mencintainya karena apa?
Dengan semua ketulusannya, dengan semua yang ada pada dirinya,
insyaallah dia yang terbaik... [mengutip kalimat david tentang yayangnya]

Aku mencintainya bukan karena apa-apa,
Aku mencintainya karena dia adalah dia...

Mungkin aku mencintainya hanya karena aku mencintainya...

Kamu tahu, tidak ada manusia yang bisa memastikan segalanya,
Walaupun hari ini aku bersamanya dan berjanji pada diriku sendiri untuk terus bersamanya, aku tidak punya jaminan bahwa di hari nanti, ia tetap ada di sini...

Tuhan selalu punya rencananya sendiri,
Tapi kali ini, aku benar-benar berharap dalam rencana itu ada “kami”, bukan lagi sekedar aku dan dia.

Dia terlalu luar biasa untuk diabaikan...:)
Ya, dia benar-benar terlalu luar biasa untukku...

aku tidak pernah benar-benar tahu seperti apa 'mencintai' yang kutuliskan di sini,
yang aku tahu cuma: rasa itu tak bisa pergi begitu saja, tak pernah pergi begitu saja.


sebuah tulisan lama,
untuknya,
hanya, dan selalu untuknya...

_andhin hz_kamartidurpenuhmimpi_mei 08
_

Wednesday, December 10, 2008

au ah!

ada yang masuk ga ketuk pintu,
ga ngucap salam,
ga bilang permisi,
ga sopan!

tapi nggak bisa diusir,
nggak bisa dicuekin,
bikin repot.

sialan.
kenapa jadi kayak gini?

Wednesday, December 03, 2008

bilang aja: lagi kangen


kadang asa ini terhenti dalam ruang yang tak berbentuk,

ketika sendu datang mengetuk, dan sesak menggerogoti tegarku...

sederhana, hati ini cuma bicara tentang keinginan bersua,

berputar pada harap ditemui secara nyata, lepas dari bayang mimpi yang menemani...

dan seperti biasanya,


realita seringkali tak mau tersenyum ramah...

kembali pada sepi di tengah ricuhnya alam...


berteriak dalam hati... memaki dalam hembusan nafas...

ayolah waktu.... berjalanlah lebih cepat!

aku menunggu ricuh ini berakhir...

ayolah hati... menguatlah, melembutlah...


kita berdiri di tepi pilihan...


antara tangis dan tawa...

antara harap dan nyata...


antara dunia, dan rindu kita...




Tuesday, December 02, 2008

Martabak Manis Mini 'Favorit' . . . Jatinangor . . .

Ada jajanan baru yang lagi saya suka. Martabak Manis Mini 'Favorit' di Jatinangor.


Awalnya iseng-iseng beli waktu nunggu angkot di pertigaan Sayang, saya liat ini gerobak jajanan kok rame banget dikelilingin anak sekolah.


Yang kepikiran waktu itu, kalo yang banyak belinya anak sekolah, berarti harganya murah! hehehehe... soal rasa, ya spekulasi lah, paling nggak masih layak makan karena banyak yang beli.

Tempatnya di depan warung nasi yang deket alfamart Sayang, yang jualannya Aa2 masih muda gitu lah...



Akhirnya saya mampir dan liat daftar menu [halah, menu!]. Ternyata bener! Harganya bersahabat sama kantong anak sekolahan... mulai dari seribu perak sampai 4.500 rupiah per potong... tergantung isinya nanti...
nih daftar harganya...


Saya pesen yang kismis satu, terus meises 2 dan keju 1 buat orang rumah. Ukuran martabaknya memang mini, nggak tau deh berapa tepatnya diameter itu martabak, tapi ya...mini lah!
Lumayan tebel, kalo kata saya...

Rasanya? Ternyata enak...:)
hehehehehe...

Martabaknya lembut, bahkan setelah dingin pun masih enak dimakan...
saya belum pernah coba masukin kulkas sih, cuman waktu saya sisain satu potong buat Ibu yang pulang sore, beliau bilang martabaknya enak meskipun sudah dingin...
hmm...

paling nggak bukan cuma saya dong yang bilang martabak ini enak..
hehehehe..

Kemarin siang saya ajak temen saya beli martabak itu, sekedar meyakinkan diri, bener nggak sih martabak ini memang enak [paling nggak untuk harga segitu lah...:P].

jangan-jangan karena saya gembul, semua makanan buat saya rasanya enak? hahahaha...

hasilnya? Dia bilang enak!
Hohohoho... berarti selera saya nggak jelek-jelek amat lah soal makanan...:P


Favorit saya? Kismis dan meises..
nyammmm....

selamat makan...



sori, saya lupa motret martabaknya...

hehehehe...


Thursday, November 27, 2008

Kalau saya suka Letto dan kamu suka Kangen Band, terus kenapa?


Iya, saya pengen nanya gitu.

Saya kan nggak mesti punya kesukaan yang sama dengan kamu atau dengan orang-orang lainnya.

Kalau saya bilang saya nggak suka dengan apa yang kamu suka,
kan itu suka-suka saya.

Sama saja dengan kamu yang nggak mau kesukaan kamu diprotes,
saya juga nggak mau disuruh suka sama sesuatu yang saya nggak suka.

udah ah,
silakan dengerin apa yang kamu suka sesuka kamu,
tapi nggak usah aja-ajak saya.

saya nggak suka.

Monday, November 17, 2008

sekian waktu yang lalu [ceritajamandulu]


No hurts feeling.
Ini beneran.
Mungkin sayanya yang kelewat nggak punya perasaan.
Penolakan sama sekali nggak membuat saya merasakan sesuatu yang menyakitkan, atau menyedihkan, atau mengenaskan, atau semacamnya.
Ya sudahlah.
Mungkin memang nggak ada hal yang cukup berarti untuk membuat saya merasakan hawa-hawa suram yang biasanya mengisi dunia saya itu.

Haha.
Akhirnya saya cuma ketawa.
Ngetawain tingkah laku ajaib saya beberapa waktu terakhir ini.
Sok menyibukkan diri dengan orang yang satu untuk menepiskan bayang yang melekat terlalu kuat dalam hari-hari saya.
Dan akhirnya tidak menghasilkan apa-apa.

Oke,
Sudah cukup main-mainnya.
Hidup bukan soal feeling semata. Hidup itu tentang keputusan.
Tentang pilihan. Lengkap dengan segala konsekuensinya.

Tidak ada “nothing to loose” di sini.
Memiliki, berarti menyiapkan diri untuk kehilangan.
Terlalu suram? Tidak.
Saya cuma bicara atas nama logika.
Sama sekali tidak romantis? Memang.
Sejak kapan ada romatisme dalam logika yang seperti itu?

Jadi?
Saya nggak mau menyesal karena nggak berbuat.
Mungkin alasan saya berhenti di situ.

Maaf ya, saya nggak bermaksud main-main.
Paling tidak, mungkin tidak secara sadar.
Saya nggak mau jadi orang bodoh yang hanya meratap.

Dulu saya pikir, tidak berbuat apapun adalah pilihan tepat,
karena tanpa perbuatan berarti tidak ada kesalahan.
Naasnya, tanpa kesalahan tidak ada pembelajaran,
dan tanpa pembelajaran tidak akan ada kemajuan.
saya hanya akan tetap di sini dalam dunia statis saya.

Diam dan menjadi autis. Seperti biasa.





Thursday, November 13, 2008

kenapa kamu mau jadi teman saya?

Hei...
Kamu tahu kan?
Saya tidak memberikan keuntungan pada kamu dengan menjadikan diri saya temanmu.
Saya bukan orang yang bisa kamu banggakan sebagai teman.

Kamu tahu saya egois setengah mati. Suka mikir aneh-aneh. Sering bertindak tanpa pikir panjang. Senang bikin repot orang. Selalu cari masalah. Punya kecenderungan untuk menjadi sangat destruktif saat emosi.

Bicara saya kasar. Memaki sudah jadi bagian dari tata bahasa hari-hari saya. Saya nggak bisa menghibur kamu waktu kamu sedih. Saya nggak bisa membujuk kamu. Saya bisanya maksa. Saya bahkan suka nggak ada buat kamu saat kamu butuh teman.

Saya bukan orang baik.
Saya juga bukan orang baik-baik. Meskipun saya dan kamu sama-sama berusaha untuk nggak jadi bajingan seperti mereka yang ada di sana itu.

Saya jadi ingin tanya, kenapa kamu masih mau jadi teman saya?
Saya suka bikin kamu kesal. Marah. Muak. Atau bahkan antipati.

Kamu tahu saya kadang menghilang seenak saya dan kembali tiba-tiba minta tolong ini itu. Nyusahin kamu terus-terusan. Nggak henti bikin kamu naik darah dan jadi cepat tua karena harus terus mengomeli saya.

Kamu yang bilang kalau saya trouble addict. Nggak bisa hidup tanpa kekacauan. Dengan begitu paling sedikit kamu kecipratan susahnya. Ikut menghirup aroma kekacauan yang ada pada saya.

Intinya, jadi tambah susah gara-gara saya bikin ulah.


Lalu, kenapa kamu masih mau jadi teman saya?



_terimakasih buat kalian yang selalu ada walaupun saya begini tidak jelas bentuk dan isi otaknya_

Saturday, November 08, 2008

begitu kata si teman

Mungkin sudah waktunya untuk berpikir lebih serius tentang sesuatu yang selama ini hanya jadi candaan.
Begitu kata si teman.

Benarkah?

Sepertinya saya takut untuk menjadi serius.

Walaupun untuk yang lain saya mungkin berani hingga cenderung nekat, untuk yang ini saya takut. Sangat takut.

Makanya saya lebih suka bercanda.
Saya lebih suka main-main dan menertawakan kebodohan saya dalam permainan, dan menyelesaikan semuanya dengan sangat biasa, sama biasanya dengan saat ketika saya kalah main games di komputer.

Si teman bilang saya sinting. Saya bilang biarin. Saya memang takut.

Pernah ada masanya saya berpikir serius tentang ini, sampai lancang berpikir bahwa saya sanggup tidak menjadikannya bahan bercandaan.

Lalu masa itu lewat begitu saja.
Berganti cepat menjadi masa di mana saya pikir belum waktunya.
Dan berganti begitu saja menjadi masa sekarang ketika saya bukan hanya tidak begitu tertarik, tapi takut.
Takut, dengan alasan yang nggak saya tahu.

Kelewatan.

Kata si teman saya paranoid. Saya tanya apa itu paranoid, dia bilang saya kelewat bego kalau nggak tahu.
Dia nggak tahu saya memang nggak begitu cerdas seperti yang dia pikir.

Mungkin si teman benar. Ini sudah waktunya.

Paling tidak, sudah waktunya berhenti merasa takut dengan alasan yang tidak saya tahu itu.

Sunday, October 26, 2008

kamu

mencintai kamu, seperti masuk dalam labirin yang tak berujung.
membingungkanku dalam tiap liku dan simpangan.
membuat semuanya menjadi tidak pasti.
sampai saat ini. . .



Saturday, October 04, 2008

Pernah merasa bingung sama diri sendiri?


Saya pernah. Kalau lagi kalut malah jadi lumayan sering.

Biasanya, saya bertanya-tanya seperti ini dalam hati:

Kok bisa jadi begini ya? Kok bisa-bisanya saya melakukan itu? Kenapa saya sempat berpikir kalau itu nggak apa-apa? Otak saya ditaruh mana sih waktu itu? Kok nggak dipakai???


Dilanjutkan dengan mengumpat sekedarnya.

Dan kemudian merasa bingung dengan apa yang sudah terjadi.


Lalu setelah terjadi berkali-kali, lahirlah kesimpulan yang semena-mena:

Ada satu sisi lain lagi di sini.

Satu bagian yang sepertinya sangat tidak puas dengan saya yang biasanya.

Bagian diri yang berpikir belakangan setelah bertindak.

Kemudian menjadi saya yang nggak mau manut begitu saja ketika diatur-atur seperti biasa. Saya yang maunya bebas melulu. Saya yang tidak keberatan jadi orang gila. Saya yang bisa menikmati ketidakwajaran yang biasanya dihindari.

Bagian diri saya yang bisa berpikir begini.


another part of me...?



Mungkin sebuah sisi yang berbeda secara agak ekstrim dari biasanya. Tentang lompatan-lompatan pemikiran, kelakuan-kelakuan terpendam, rahasia-rahasia yang tidak terkatakan, atau semacamnya.

Sesuatu yang disadari ada tapi lebih sering ditiadakan secara kasat mata namun tetap eksis di belakang sini.


Sisi lain dari diri, sisi yang dibagi dengan tidak merata pada beberapa orang yang tersangkut secara sengaja dan tidak sengaja. Sisi yang dibenci dan demi stabilitas lebih baik tidak diungkap. Sisi yang kadang menguat dengan sendirinya dalam kesendirian yang menyenangkan.


Sepertinya, saya terobsesi dengan ketidakjelasan hidup. Merasa senang berbincang tentang hidup yang abstrak, tentang sesuatu yang tidak punya sekat jelas, tentang sesuatu yang belum pasti atau mungkin tidak pernah pasti, tentang utopia, tentang celah pemberontakan dalam keteraturan, atau tentang sesuatu yang seperti itu.


Di satu sisi saya ingin jadi orang biasa yang sama seperti orang-orang biasa lainnya. Di sisi lain saya jenuh dengan stabilitas yang ada. Trouble addict, kata seorang kawan. Saya mungkin nggak akan bisa hidup tanpa masalah yang mengacaukan, begitu katanya.


Benar atau tidak saya nggak ambil pusing.


Inkonsisten.

Mungkin saya seperti itu. Meledak-ledak, kemudian tenang. Mengharapkan ketenangan, kemudian bosan dan membuat keributan. Berhati-hati agar tak bermasalah dengan orang lain, kemudian gusar dan kembali bermain api.

Stabil dan tidak stabil sekaligus.

Ingin jadi orang baik dan dengan cepat menjadi tidak peduli pada aturan untuk jadi orang baik dalam sekali jalan.


Tidak tahu mau apa.

Mungkin masih tersesat dalam ketidakdewasaan.

Kadang saya berpikir seperti itu. Kadang juga lupa berpikir.


Tapi kehidupan sosial tidak menerima kondisi seperti ini. Status sebagai makhluk sosial mengharuskan saya memilih satu diantara dua yang bertentangan.

Dan saya memilih karena saya tahu saya nggak bisa hidup sendirian.

Saya memilih. Walau kadang akhirnya saya sering terpeleset jalan. Paling tidak saya mencoba menstabilkan diri dengan yang namanya adaptasi. Menyingkirkan ketidaknyamanan yang timbul dan menerimanya sebagai bagian dari hidup yang “memang seperti ini”.


Kehidupan sosial untuk saya seringkali adalah kehidupan yang melelahkan. Harus begini dan begitu sesuai aturan. Ketersimpangan dari kondisi yang “biasanya” atau perbedaan diri dengan teori yang ada akan melekatkan cap gila. Itu yang saya terima dari lingkungan sosial.

Menjadi berbeda adalah biasa, tapi menjadi selalu berbeda adalah gila.


Sepertinya saya orang yang punya kebutuhan tinggi untuk diterima, sekaligus punya ketakutan tinggi tentang kondisi ditinggalkan. Menjadi ekstrim berarti menarik diri dari kemungkinan penerimaan orang lain. Memilih keekstriman berarti mengiyakan ketidakseimbangan, dan itu tidak boleh dipertahankan jika ingin diterima. Entah dari mana saya belajar seperti ini.

Atau lebih tepat, merasa bahwa kenyataan memang seperti ini.


Saya belajar bahwa untuk bisa diterima, saya tidak boleh meneriakkan semua yang ada dalam kepala saya begitu saja. Saya harus memilih dan memilah mengeluarkan apa untuk siapa dalam kondisi bagaimana dengan cara apa. Kadang-kadang, ini membuat saya menjadi manusia yang sukanya cari aman. Tidak mau ribut, dan lebih suka mengikuti maunya orang lain.

Dan setelah sekian lama, kondisi ini membuat saya jadi manusia yang muak pada dirinya sendiri yang seperti ini. Menjadi manusia menyedihkan yang sempat rela kehilangan eksistensinya dalam diri sendiri demi membuat orang lain senang dan menerima keberadaan diri.

Benar-benar kasihan.


Another me? Itu cuma candaan, sebutan saya untuk sisi lain dari cerita diri ini yang tidak banyak diketahui orang. Tidak keluarga, tidak teman-teman dekat saya, tidak juga orang terdekat saya. Kadang orang lain yang tahu. Orang lain yang benar-benar orang lain. Orang lain yang asing, yang baru saya temui atau bahkan tidak saya kenal. Orang lain yang tidak terkait secara langsung akan kebutuhan saya tentang penerimaan.


Saya masih seperti ini.


Berpikir dengan melompat-lompat tanpa arahan jalur. Bertindak dengan frekuensi lupa yang keluar batas toleransi. Bersikap semaunya. Memberontak pada cap orang lain tentang diri yang kelihatan. Membantah tapi tidak mengeluarkan bantahan. Bersembunyi di balik kesalahpahaman yang disyukuri. Merasa bersalah karena menipu dengan sengaja dan tertawa dalam tangis kemudian menangis dalam tawa.


Yang itu saya.

Yang ini juga saya.

Yang mana juga saya.


Tidak stabil. Tidak suka diprediksi.

Suka cari perhatian dengan cara kelewatan. Suka sok tahu tentang diri sendiri. Suka sok tahu juga tentang orang lain.

Menyebalkan. Senang menjadi menyebalkan. Mudah bosan. Mudah beralih dari kebosanan.

Begitulah.


Ini saya. Paling tidak saya tahu ini memang saya saat saya menulis ini.


Saya pikir kebanyakan orang tahu kalau biasanya manusia tak hanya punya satu sisi. Manusia punya sisi yang tak tampak oleh orang lain. Saya manusia. Jadi saya punya sisi itu.

Dan inilah potongan-potongan cerita dari sisi yang itu, yang berteriak ingin keluar sebagai saya. Keluar di sini. Lewat kata-kata.


nb. setelah nulis ini saya jadi makin nggak ngerti...

Monday, September 22, 2008

Egois. Tapi apa boleh buat.


Ketertarikan dan ketidaktertarikan pada seseorang atau sesuatu buat saya adalah hal yang nggak bisa dipaksakan. Kenapa? Nggak tahu. Saya nggak terlalu ingin mencari tahu, karena sepertinya jawabannya akan nyangkut2 lagi sama teori si ini dan si itu tentang manusia dan apa yang ada di pikiran mereka. Saya lagi nggak mood buat ngurusin itu. Jadi biarkan saja.


Lalu, ada apa dengan ketertarikan?


Seorang kawan pernah bertanya beberapa waktu lalu, apa alasan saya tertarik pada sesuatu. Saya bingung. Ada terlalu banyak sekaligus terlalu sedikit alasan untuk merasa tertarik atau nggak tertarik. Pada manusia, foto, lagu, film, buku, atau apapun yang lain yang ada ‘rasa’nya. Akhirnya saya memilih untuk nggak bilang apa-apa soal alasan itu. Alasan saya dipersingkat: itu masalah selera. Benarkah? Saya juga nggak tahu sampai sekarang.


Setelah dipikir-pikir, saya orang yang gampang tertarik sama ketidakberaturan. Terutama ketidakberaturan berpikir. Beberapa orang yang sempat menarik perhatian saya sejak pertama ternyata punya ketidakberaturan itu dalam diri mereka. Terutama masalah pemikiran dan karya. Mencoba menganalisis alasannya, saya pikir mungkin karena dalam ketidakberaturan itu akan ada sesuatu yang unpredictable. Dan sesuatu yang masih ada dalam “kotak kejutan” itu sangat menyenangkan untuk dinanti. Jeleknya, saya jadi sering mencoba memancing reaksi orang-orang ini gara-gara penasaran. Buat yang merasa, maaf ya, saya lagi mencoba berhenti kok. Beneran.

Mungkin saya sendiri juga nggak beraturan. Lompat-lompat semaunya tanpa mikirin orang lain yang lagi ngikutin kemana saya berpikir dan bertindak. Sekali lagi buat yang merasa, saya minta maaf. Saya bukan nggak mau mencoba berhenti buat yang ini, tapi saya bingung. Bingung kenapa? Itulah, saya nggak tau.


Oke...tulisan ini jadi banyak dihiasi ungkapan “saya nggak tahu” yang entah kenapa [yeah, ungkapan yang ini juga senada dengan itu tadi] terketik begitu saja di keyboard komputer saya. Mungkin saya memang benar-benar nggak tahu, mungkin juga cuma males mikir. Lebih mungkin lagi adalah kapasitas otak saya memang nggak sampai ke hal-hal begituan. Jadi jangan dibahas lebih lanjut. Paling ujung-ujungnya saya bilang “nggak tahu” lagi.


Sebenernya apa yang mau saya tulis ya? Tadinya saya pengen cerita tentang ketertarikan saya terhadap sesuatu sebagai hal yang sepertinya nggak bisa dipaksakan. Eh, kata siapa nggak bisa dipaksakan? Kata saya, ini kan tulisan saya. Pernah saya coba mengalihkan ketidaktertarikan saya menjadi ketertarikan, tapi jadinya semu. Saya nggak benar-benar bisa nikmatin itu. Jadi buang waktu nggak jealas. Nah, tadinya saya mau nulis-nulis soal itu, tapi malah sampai ke sini. Biarinlah.


Semakin nggak nyambung.


Sudah dulu saja. Pikiran saya jadi melantur ke mana-mana. Nggak fokus. Mungkin gara-gara itu skripsi saya nggak selesai-selesai sampai sekarang. Gara-gara nggak fokus. Atau gara-gara saya nggak tertarik. Hush. Yang terakhir bukan alasan. Itu bercanda. Saya tertarik kok sama skripsi saya, yang bikin saya nggak tertarik cuman sama dinas pendidikannya. Loh jadi makin nggak jelas arah tulisan saya...?


Sekarang berhenti beneran.

Lama-lama nanti saya malah bahas soal kebutaan sosial yang lagi terjadi di sekeliling saya dan bikin saya ngomel-ngomel kemarin-kemarin.


Selesai. Terimakasih banyak buat yang sudah mau baca.


Wednesday, September 17, 2008

kalian. saya. dan rasa muak itu.

asalnya, saya nggak mau bilang apa-apa tentang kalian.
saya juga nggak mau mengkategorikan manusia [di sini, teman-teman saya] dengan kata 'kalian' ini.
karena saya nggak suka.
karena kategori membatasi pengembangan pikiran saya yang sempit ini.

tapi barusan saya nggak tahan lagi.
entah kenapa saya jadi muak dengan obrolan kalian.
iya, kalian!!!

kalian yang selalu merasa keren dan lebih keren dari orang lain kalau bisa nongkrong di starbucks.
kalian yang merasa oke kalau bisa pakai barang merk roxy dan bangga bisa menghabiskan lebih dari dua ratus ribu untuk sebuah sendal jepit.
kalian yang memberikan harga pada orang lain dari seberapa mahal sepatunya dan apa minyak wanginya.
kalian yang menertawakan dengan sinis teman-teman dari jurusan yang menurut kalian tidak prestisius dan memuja teman-teman lain yang menurut kalian bisa dipamerkan.
kalian yang selalu mengerenyitkan dahi saat diajak jalan kaki dan bukan naik mobil pribadi yang masih mulus.

iya, kalian yang itu!

hak kalian untuk punya gaya hidup yang luar biasa mahal seperti itu.
hak kalian menikmati fasilitas yang diberikan orangtua kalian sampai puas.
tapi saya berhenti bicara hak ketika kalian mulai merendahkan orang lain yang tidak punya gaya hidup seperti kalian.
saya mulai memaki.

kalian boleh bilang saya iri karena saya tidak punya gaya hidup itu.
atau mau bilang yang lain, terserah kalian.

tapi buat saya, sangatlah tidak penting menilai segala sesuatunya dari nominal harga atau prestise yang dimiliki sesuatu.
menurut saya, sangatlah BODOH ketika harus membatasi pergaulan dengan materi seperti itu.
apa yang ada di pikiran saya adalah: yang sangat penting dari seseorang bukanlah apa yang dia pakai atau dia miliki, bukan dari materi dalam kehidupan yang dia jalani, tapi dari bagaimana dia menikmati hidupnya, bagaimana dia membuat semuanya berarti, untuk dia dan orang lain.

kalian yang [lagi-lagi] punya otak yang terus-menerus cuma dipenuhi pikiran tentang bagaimana caranya terlihat lebih keren dari orang lain mungkin masih belum akan paham makian saya saat ini.

bahkan mungkin saya sendiri belum cukup paham.

tapi saya nggak mau gengsi menjadi sebuah arti penting dalam hari-hari saya.
persetan dengan itu.

saya nggak mau seperti kalian.

saya nggak butuh starbucks untuk menjadi keren. Tuhan sudah meberikan "diri" pada saya sebagai bekal menjadi apapun. Dia juga memberikan teman-teman untuk saya belajar. Bukan teman-teman dari jurusan yang prestisius untuk bisa dipamerkan, tapi teman-teman yang menemani saya berpikir dan berproses menjadi dewasa.

saya nggak butuh barang-barang bermerek atau berharga jauh lebih mahal daripada yang seharusnya untuk meningkatkan gengsi saya.
saya lebih peduli pada harga diri daripada gengsi. jauh lebih peduli... :)

terimakasih sudah membaca,

semoga saya nggak menyinggung siapapun,
dan semoga lain waktu saya bisa berhenti mengkotak-kotakkan teman seperti ini.
tapi saya sedang muak. muak yang sangat.
jadi maaf ya, kali ini saja . . .

Friday, September 05, 2008

. . . [nggak ada ide buat judul]



kenapa menyerah?

karena memaksakan diri hanya akan menjadi penegasan kebodohan.



sudahlah,

ini bukan soal kalah - menang.

hentikan saja.

di sini.

sekarang juga.

Friday, August 01, 2008

ini rasa apa?

Kepala saya sakit.

Mau pecah.

Mau saya pecahkan saja sendiri.

Biar cepat.

Tapi tidak jadi.

Katanya nanti bisa mati.

Saya masih banyak dosa.

Belum tobat.

Belum boleh mati.

Katanya nanti bisa masuk neraka.

Katanya lagi neraka itu panas.

Saya nggak suka panas.

Jadi saya nggak mau masuk sana.

Saya mual.

Mungkin karena muak yang terlalu.

Terlalu banyak.

Atau terlalu penuh.

Muak pada diri.

Diri sendiri dan orang lain.

Atau karena kebanyakan asupan.

Yang perlu.

Lebih banyak lagi yang tidak perlu.

Nyaris muntah.

Tapi katanya muntah depan orang tidak sopan.

Jadi saya pergi cari kamar mandi.

Buat muntah.

Ya, cuma buat muntah.

Tidak ada tendensi lainnya.

Cuma buat muntah yang gara-gara mual tadi.

Saya jadi cari kamar mandi.

Sudah ah.

Sudah selesai.

Kepala saya sakit.

Perut saya mual.

Saya mau tidur.


Mungkin masuk angin.

Friday, June 06, 2008

cerita tentang secangkir kopi, dan dia.

Secangkir kopi lagi, buatmu.


Mimpiku denganmu memang tak pernah banyak. Hanya berkisar pada kopi, asap rokok, dan bintang di langit. Tiga tahun berlalu dan mimpi itu masih saja sama.


Sekarang kita mulai bicara mimpi tentang cinta dalam hidup masing-masing. Kamu dan aku dengan dia yang masing-masing dari kita tidak pernah kenal. Lalu kita bicara tentang mimpi kita akan masa depan kita bersama orang itu. Kemudian kita diam. Mungkin salah satu dari kita berpikir tentang andai-andai. Seandainya dalam tiga tahun ini hubungan kita tak dihentikan sampai batas teman, apa mungkin kita akan bicara tentang masa depan kita bersama-sama? Atau mungkin seandainya jarak tidak sebegitu jauhnya, kita tidak berhenti sebagai teman? Tunggu dulu. Siapa yang berpikir andai-andai ini? Mungkin kamu. Mungkin sekali aku. Pikiran bodoh. Dan aku menghentikannya, segera.


Aku tak pernah bisa menjawab dengan tepat siapa kamu dalam hidupku. Teman yang teman dan bukan teman. Sempat menjadi lawan yang lawan dan bukan lawan sekaligus. Waktu mengajarkan kita bahwa manusia berubah. Aku dan kamu yang juga manusia ikut terkena imbasnya. Kita berubah. Entah menjadi lebih apa selain lebih tua.


Kadang, tiba-tiba aku merindumu. Merasa perih yang sangat karena kamu tak tergapai. Tapi lebih sering aku mencukupkan diri pada apa yang ada. Sms, telepon, dan sedikit uraian lewat surat elektronik. Dan sejak tiga tahun yang lalu, tetap begitu.


Pertemuan pertama yang mengingatkanku padamu cuma tentang secangkir kopi di tengah dinginnya udara Kaliurang. Lalu tertawa dan bicara tentang hal yang aku sudah lupa. Sempat senada dalam emosi pada panitia. Lalu kita pulang. Kembali pada hidup masing-masing. Hidup kita sebelum berangkat ke Jogja tahun itu.


Ingatan tentang bagaimana awal kontak lanjutan kita sudah pergi entah kemana. Tahu-tahu ketika tersadar, kamu sudah jadi bagian dari hariku. Obrolan singkat dan diskusi tentang mahasiswa dan dinamika pergerakannya sempat jadi bahasan yang paling sering kita ceritakan. Kamu orang pertama yang tanya padaku apa aku pernah tertangkap polisi karena demonstrasi. Dan sepertinya kamu bangga kalau harus berurusan satu malam dengan kantor polisi. Waktu itu aku pikir kamu gila.


Ternyata kamu memang gila. Gila yang membuatku menertawakan ironi kehidupan. Gila yang membuatku mampu bertahan menikmati pertikaian kecil khas kampus dan politik di dalamnya. Gila yang mengajarkanku ketulusan hidup. Gila yang menyadarkanku pada mimpi tentang edukasi mereka yang tak mampu. Gila yang sempat membuatku berpikir bahwa aku jatuh cinta. Gila yang sama, yang selalu kurindukan.


Ceritamu adalah tentang warung kopi di terminal. Tentang terminal dan hiruk pikuknya. Tentang obrolanmu dengan siapa dan siapa di warung kopi terminal itu. Dan aku ingin ada di sana ketika kamu bercerita. Dengan secangkir kopi. Denganmu.


Ceritamu, adalah tentang rokok gudang garam yang tak lepas dari harimu. Tentang asap yang membumbung. Tentang kepuasan seseorang tentang rokok. Kamu pernah bilang supaya aku jangan merokok. Terus kamu bilang terserah waktu kukejar dengan tanya kenapa. Terakhir kamu cuma abstain waktu kulaporkan kelakuanku yang makin nggak beres dengan produk racun manusia ini. Kalau sekarang ada orang mengepulkan asap dari rokok merek itu, aku akan ingat kamu. Tapi ini berbeda dengan kopi. Aku nggak ingin menghabiskan sebatang rokok denganmu. Aku hanya ingin menemanimu menghabiskan jatah rokokmu hari itu. Lalu menanyakan uang makanmu untuk besok yang kamu habiskan untuk rokok sialan itu.


Ceritamu juga adalah tentang bintang di langit yang katanya bisa kamu lihat jelas dari jendela kamar kost-mu yang katanya harus berbagi itu. Tentang langit Malang yang masih bersih dan membuatmu bisa menikmati bintang. Dan aku harus puas dengan ceritamu. Puas, sambil bermimpi dengan sederhana tentang melihat langit berbintang bersamamu. Berbaring menatap langit, memandang bintang, dan menyadari kecilnya manusia dalam semesta. Melewatkan malam dengan sunyi dan denganmu dalam diam. Mencoba memahami kuasa Dia yang kita sebut Tuhan.


Dulu ceritamu berhenti di situ. Mungkin memang kamu hentikan di situ. Atau kita yang menghentikannya di situ. Berhenti di situ setelah tak lagi membahas aktivitas demonstrasi seperti dulu. Setelah mengurangi jatah waktu membahas politik kampus dan politik luar kampus. Kemudian kita mengganti waktu itu untuk bicara soal hidup, dan kehidupan.


Sekarang, ceritamu bertambah satu lagi. Tentang masa depan. Tentang mimpi yang tersisa. Bukan mimpi untuk jadi apa atau mimpi untuk bikin apa. Tapi mimpi tetang jadi siapa untuk siapa dan hidup bagaimana.


Satu yang kucinta dari ceritamu adalah kamu tidak pernah melepaskan mimpi untuk hidup puas. Untuk hidup yang punya makna.


Sekarang cerita kita berputar tidak jelas. Kopi, rokok, bintang, dia, dan mereka. Kemudian mulai bertanya mau apa, mau bagaimana, dan mau sampai kapan. Tapi yang jelas dalam cerita kita tidak ada kita. Yang ada adalah aku dan kamu. Aku dan kamu dengan kehidupan masing-masing. Aku dan kamu yang ada di tempat yang saling berjauhan. Aku dan kamu yang punya dia dalam keseharian. Aku dan kamu yang berubah dari saat bertemu. Berubah karena waktu. Berubah karena kondisi. Berubah karena pengaruh sana sini. Berubah, karena kita manusia.


Aku berhenti bertanya kenapa Tuhan mempertemukanku denganmu. Aku berhenti karena sudah tahu jawabannya. Jawabannya adalah karena aku harus belajar. Dan darimu aku belajar banyak walaupun tidak banyak belajar. Belajar tentang manusia. Belajar tentang repotnya punya dan tidak punya perasaan. Belajar tentang mencintai cinta yang tidak mencintai kembali. Belajar tentang peran masing-masing. Belajar tentang alasan.

Tentang alasan kenapa manusia dilahirkan dan dibiarkan hidup oleh Tuhan.


Baiklah, aku sudah selesai. Seperti yang pernah kamu tuliskan di lembar biodatamu di Jogja tiga tahun lalu: Tidak ada yang abadi kecuali perubahan.

Dan kita sama-sama tahu, perubahan selalu punya konsekuensi. Selamat hidup. Dengan perubahan.


Dan lagi-lagi, secangkir kopi. Frase ini total mengingatkanku padamu. Mengingatkanku pada kegilaan yang kucintai. Mengingatkanku dengan jelas tentang seorang kamu. Sampai saat ini. Ya, sampai saat ini, ketika kamu sudah merangkul dia yang di sana untuk masa depan. Sampai saat ini, ketika aku telah memohon pada Tuhan untuk memberikan dia yang di sini untuk hidupku.


Terimakasih untuk kopinya.


jatinangor, 2007, 2008

Wednesday, May 28, 2008

Yang tersisa dari Jambore Fotografi se Jawa di Jogja-Magelang

setiap event punya ceritanya sendiri-sendiri,
selalu menyisakan kesan kuat dan harapan tersendiri...
begitu juga dengan yang ini...

event jambore yang pada malam terakhir akhirnya diputuskan untuk disebut sebagai "Jambore Fotografi II" ini [jujur saja] luar biasa buatku...
ada semangat baru yang mengalir lewat interaksi dengan teman2 nggak dikenal di event ini,
ada obrolan-obrolan lepas malam yang bicara soal hidup dan mimpi di dalamnya,
ada optimisme yang menyenangkan tentang foto dan dunianya di sini,
ada penyegaran yang membuatku berjanji untuk kembali ke dunia yang satu ini setelah sekian lama berpaling...:)

yang tersisa dari event ini:
* semangat motret yang balik lagi, hasil charging selama 3 hari
* kontakan teman pencinta fotografi yang bertambah
* beberapa alur berpikir baru yang bisa dipikirkan kembali kalo lagi nggak ada kerjaan
* dua rol film yang belum bisa diproses karena duitnya abis buat ke jogja
* semangat tambahan untuk segera menyelesaikan skripsi karena pengen ke jogja lagi
* cerita tentang ini dan itu yang beberapa diantaranya cuman bisa dikonsumsi sendiri
* rasa kangen untuk kumpul-kumpul lagi kayak gitu
* PR buat anak Bandung: Ngadain Jambore Fotografi III di Bandung tahu 2009!
* bentuk relationship yang agak beda dari sebelumnya [naon sih ieu???]
* kegilaan yang bertambah
* GOSIP tentang satu dan lainnya yang kadang2 suka sadis....

sekian dan terimakasih...
tetep, Jogja, cinta tiada akhir!