Tuesday, September 09, 2014
semacam acak-acakan yang distandarkan.
akhir-akhir ini sepertinya dunia ter-refleksikan dengan sedikit buram di dalam kepala. atau di luarnya. atau di mana saja.
kejelasan beranjak menjadi ketidakjelasan yang diperdebatkan. yang katanya sedang diusahakan supaya bisa terlihat sebagai kejelasan.
iya, terlihat.
dan kita sudah sama-sama tahu, apa yang terlihat belum tentu sama dengan yang sebenarnya ada.
pada cerita di sisi sebelah sini, obrolan-obrolan masih mengacak sesukanya, menempati posisi-posisi strategis supaya bisa menggeser jajaran standar basa basi yang tidak terstandar dan tidak sungguh-sungguh berusaha distandarkan.
rasanya seperti semacam mengkuantifikasikan kualitas. menafikkan terminologi selera yang biasanya disandingkan dengan kemewahan subjektifitas individu.
kadang, orientasi tujuan berakhir pada frase fomalitas. sekedar disetujui untuk ditandatangani. bukan diterapkan. apalagi diusahakan sungguh-sungguh untuk pencapaian tujuan.
... waktunya menarik nafas panjang. dan menghembuskannya pelan-pelan.
boleh meminta?
tolong jangan ambil kopi dan ritme yang dibawanya dari saya.
090914
-di atas meja tanpa cerita, diantara ledakan bom asap dalam kepala-
Monday, March 10, 2014
tentang rindu, atau tentang cangkir kopi.
a repost. a memory. about you. at 8:51am
entah kapan, kata rindu rupanya berubah menjadi semacam kutukan. semacam racun yang dilabeli obat luka yang dituangkan setetes demi setetes diatas luka yang tidak pernah benar-benar kering sejak sekian waktu yang tidak perlu didefinisikan sebagai kapan.
bergeraklah, ujarnya sambil menepuk luka.
ah, senyum yang sama,
tawa yang sama,
obrolan yang berputar di ranah yang sama,
celetukan saling sindir yang sama,
dan kopi yang berganti.
dan keterbiasaan yang memilih menjadi tidak sama.
dan rindu, lagi-lagi, mewujudkan dirinya sebagai kutukan yang dirindukan pada waktu yang masih ada di kisaran entah.
lantas, kenapa masih di sini? tanyanya bisu.
beberapa pilihan memang memuakkan, tapi tetap dipilih.
adakah ini semacam dongeng soal konsekuensi? suaranya mengalir lagi.
soal kopi dan kamar mandi?
kemudian tawanya pecah. dan cangkir kopi di depanku kembali terisi penuh.
membacanya dan membacaku adalah sama dan berbeda yang sama. seperti buku yang dikemas sama dengan isi yang dijelaskan berbeda tanpa perlu ditanya mengapa.
tahu yang tahu dan tahu yang tidak tahu terputarbalikkan sempurna dengan ketidaktahuan yang disimpan manis di tempat yang diketahui dengan ketidaktahuan yang diberitahukan.
tampil dengan sempurna, kalau mengutip bahasanya.
...
pada masanya, dialog imajiner yang tidak bisa dipercaya itu berakhir dengan bias, dengan semacam keterdiaman pada bercangkir-cangkir kopi yang terus datang karena terus-menerus dibuat dan dipesankan supaya ada.
berakhir yang tidak pernah berakhir dengan alasan bahwa kopinya masih ada.
pojok warung kopi biasa, di dalam agak ke sebelah kiri, 230612
entah kapan, kata rindu rupanya berubah menjadi semacam kutukan. semacam racun yang dilabeli obat luka yang dituangkan setetes demi setetes diatas luka yang tidak pernah benar-benar kering sejak sekian waktu yang tidak perlu didefinisikan sebagai kapan.
bergeraklah, ujarnya sambil menepuk luka.
ah, senyum yang sama,
tawa yang sama,
obrolan yang berputar di ranah yang sama,
celetukan saling sindir yang sama,
dan kopi yang berganti.
dan keterbiasaan yang memilih menjadi tidak sama.
dan rindu, lagi-lagi, mewujudkan dirinya sebagai kutukan yang dirindukan pada waktu yang masih ada di kisaran entah.
lantas, kenapa masih di sini? tanyanya bisu.
beberapa pilihan memang memuakkan, tapi tetap dipilih.
adakah ini semacam dongeng soal konsekuensi? suaranya mengalir lagi.
soal kopi dan kamar mandi?
kemudian tawanya pecah. dan cangkir kopi di depanku kembali terisi penuh.
membacanya dan membacaku adalah sama dan berbeda yang sama. seperti buku yang dikemas sama dengan isi yang dijelaskan berbeda tanpa perlu ditanya mengapa.
tahu yang tahu dan tahu yang tidak tahu terputarbalikkan sempurna dengan ketidaktahuan yang disimpan manis di tempat yang diketahui dengan ketidaktahuan yang diberitahukan.
tampil dengan sempurna, kalau mengutip bahasanya.
...
pada masanya, dialog imajiner yang tidak bisa dipercaya itu berakhir dengan bias, dengan semacam keterdiaman pada bercangkir-cangkir kopi yang terus datang karena terus-menerus dibuat dan dipesankan supaya ada.
berakhir yang tidak pernah berakhir dengan alasan bahwa kopinya masih ada.
pojok warung kopi biasa, di dalam agak ke sebelah kiri, 230612
Friday, February 21, 2014
soal yang tidak kemana-mana
...
dan tulisan yang pernah kita buat ternyata benar-benar menjadi rekam jejak tak terbantahkan soal proses pembelajaran yang pernah dan sedang kita lalui.
...
November 30, 2011 at 11:26am
obrolan soal idealisme memang tidak pernah lagi mampir di warung kopi kita. beralih dengan susunan kalimat soal kebutuhan hidup dan cita-cita seadanya karena mungkin merasa sudah tahu bahwa kesanggupan kita masih berbatas pada pencapaian-pencapaian kecil untuk diri sendiri dan orang lain dalam lingkup kecil saja.
kita berhenti berwacana soal dunia sosial yang terlalu luas untuk diurusi. diri sendiri, keluarga lama, dan atau keluarga baru kita adalah isi obrolan yang mengisi ruang-ruang menggantung dalam detik yang berjalan dengan tidak karuan.
kemudian kita larut dalam semuanya. bergembira dengan pencapaian dan kecewa dengan kegagalan. kemudian tidak ada lagi uang lima ribu kita yang akhirnya hanya kita ambil seribu untuk jatah rokok hari ini karena empat ribunya adalah untuk mengisi lapar orang.
dan permakluman serta toleransi menjadi bagian paling akrab dari alam pikiran kita. membebaskan pilihan paling tolol sekalipun untuk terjadi dan membangun penyangkalan-penyangkalan tidak bertanggungjawab yang dinikmati.
hingga pada akhirnya kita mulai jengah.
mulai mengingat-ingat dengan susah payah dan membongkar banyak dokumen lama hanya untuk sekedar mengingatkan apa yang perlu dan yang tidak. membedakan definisi yang dibutuhkan dan diinginkan, atau sekedar menyentil luka lama yang pernah dibuat dengan sengaja ataupun tidak.
pagi ini, saya menjejali diri sendiri dengan segala macam sumpah serapah yang sudah sangat lama tidak bangkit dari tidur panjangnya. memecahkan cermin dan meyalahkan ilusi optikal yang sesungguhnya disebabkan persepsi pikiran sendiri sebagai penyebab dari ketimpangan di dalam diri. kemudian menutupnya dengan pertanyaan yang sama soal apa yang sudah saya lakukan.
seperti sedang diingatkan bahwa sudah waktunya, atau sebentar lagi akan menjadi sudah waktunya, untuk berhenti membiarkan diri sendiri menjelajahi terlalu banyak kemungkinan eksperimentasi, atau manipulasi.
kita mulai menghitung waktu kita masing-masing. dengan agak sedikit frustrasi karena ada terlalu banyak ketidakseimbangan yang statusnya sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. kemudian tersiksa sendirian karena tidak bisa melakukan apa-apa padahal isi kepala berteriak-teriak mengatakan bahwa harus ada yang melakukan sesuatu.
tapi begitulah. kita mulai cinta damai dan enggan beradu argumen.
dan menjadi tuli pada teriakan kita sendiri. karena mulai percaya bahwa berteriak itu adalah perilaku barbar. dan karena katanya kita semakin dewasa, itu harus berhenti dilakukan.
baiklah. saya seperti disarankan [dengan sedikit paksaan] untuk begini dan begitu dan tidak begini serta tidak begitu. dan hati tidak lagi berhasrat untuk mengatakan apapun.
lantas?
Tuhan. saya tahu saya butuh belajar ikhlas.
dalam perangkap pagi yang enggan menyapa, 301111
Wednesday, January 22, 2014
mungkin, di luar kotak.
2014!
~ datang tanpa rasa bersalah dan seolah tidak terjadi apa-apa ~
jadi begini, setelah agak lama hanya sekedar melakukan aktivitas mengangguk, membenarkan, dan mengerutkan kening, beberapa obrolan, cerita, tulisan, gambar, dan foto membuat saya jadi agak kepikiran soal sesuatu.
itu, soal yang terus bicara di sana sini bahwa kita harus punya cara berpikir yang berbeda, atau bahasa kerennya: out of the box.
singkat cerita, saya disuguhi semacam doktrin bahwa pemikiran yang out of the box itu lebih oke dan lebih keren dan ditaruh di derajat yang lebih tinggi ketimbang pemikiran yang tidak out of the box [haruskah saya sebut itu pemikiran inbox?].
kemudian, kata tanya yang mampir di kepala saya adalah: kenapa?
dalam kapasitas berpikir saya yang cuma segini-gininya, pemikiran itu adalah hasil pengolahan input yang masuk dan kolaborasinya dengan konten yang sudah ada sebelumnya.
jadi sepertinya, pemikiran yang katanya di luar kotak itu sebenarnya adalah sama saja statusnya dengan pemikiran-pemikiran lain yang juga merupakan hasil olahan di dalam diri manusia. yang membuatnya terlihat atau terasa berbeda hanya soal persepsi, juga soal konteks tempat dan waktu.
pertanyaan berikutnya di kepala saya adalah: what the box is?
kalau dijawab dengan: aturan baku, norma, prosedur, kebiasaan, tradisi, dan teman-teman sejenisnya yang membuat kita merasa di-kotak-i, saya akan kembali bertanya: bukankah sesungguhnya [dalam konteks sosial] kita adalah selalu menjadi satu bagian dari bagian yang lebih besar lagi? bukankah yang dipersepsikan sebagai "kotak-kotak" itu pun sesungguhnya hanya bagian dari sesuatu yang lebih besar dan lebih luas lagi?
bukankah kalau asumsi sebelumnya benar, maka sesungguhnya kita tidak pernah keluar dari kotak?
mungkin, selama ini pun kita cuma berpindah dari kotak yang lebih kecil ke kotak yang lebih besar saja.
itu pun cuma mungkin.
mungkin juga sebenarnya tidak pernah ada kotak. itu cuma keisengan pikiran-pikiran kita yang sering merasa benar dan kebingungan antara kenyataan dan imajinasi.
itu pun cuma mungkin.
jadi, mungkin, out of the box itu cuma kemungkinan. bukan penempatan dan situasi. apalagi status.
Tuesday, May 21, 2013
soal takdir dan pilihan.
halo. apa kabar, hidup? apa kabar, blog? apa kabar, diri?
kebiasaan buruk saya, kata seorang kawan, adalah berhenti menulis ketika semuanya dirasa baik-baik saja. seolah-olah buat saya menulis haruslah menjadi semacam bentuk komplain atau reduksi kegalauan. bisa jadi iya, bisa jadi juga tidak. tapi ya pada kenyataannya memang begini: blog ini terlantar cukup lama. jangankan ditulisi, ditengok saja tidak.
akhir tahun kemarin, saya menikah. akhirnya. iya, akhirnya. ketika saya pikir itu adalah sesuatu yang masih sangat-sangat jauh dari hidup saya, tiba-tiba dia datang dan mendekat.
dan voila, menikahlah saya.
sampai detik saya menuliskan kalimat ini pun, kadang-kadang pernikahannya masih terasa seperti mimpi. ajaib. dan saya bersyukur karenanya.
kemudian, banyak hal seolah terjadi begitu saja, dan saya menemukan diri saya yang tidak lagi terlalu banyak berteriak menolak dan menentang. menemukan diri saya yang lebih suka berkompromi dan menjalani sambil tertawa. atau ditertawakan dan menertawakan.
it's a wow.
iya, dunia berubah. juga saya. entah menjadi lebih apa selain lebih tua. tapi paling tidak, perubahan adalah semacam tanda kehidupan, semacam indikator ketidakmatian.
mengutip kutipan dari seorang kawan:
kadang, takdir menyeret kita ke tempat yang paling kita hindari.
dan begitulah. kadang, kita termakan sendiri oleh takdir yang kita hindari di masa lalu. kemudian di sinilah kita, tertawa, menertawakan diri sendiri, dan menerima dengan sukacita ketika ditertawakan.
tapi hidup toh bukan melulu soal takdir. hidup itu soal pilihan. toh takdir juga adalah hasil dari apa yang dipilih. adalah semacam kesepakatan kita dengan Tuhan soal hidup dan kehidupan. saat ini, saya mungkin bukan berhenti menolak. saya cuma mulai berjalan dengan memilih satu demi satu yang ada di depan sini. satu demi satu yang disesuaikan dan menyesuaikan. satu demi satu yang menawarkan kompromi, bukan perdebatan. satu demi satu yang layak diperjuangkan dalam kapasitasnya masing-masing.
satu demi satu yang mengajari saya mencintai yang ada.
hari ini, saya ingin bilang terimakasih termanis untuk teman satu tim kesayangan saya yang sudah rela jadi cheerleader dalam setiap hari yang saya jalani.
terimakasih tertinggi tentu saja untuk Tuhan yang sudah menyediakan banyak pilihan dan fasilitas hidup, termasuk teman-teman berceloteh yang kadang jadi ngengat.
you make my day!
mungkin, ini semua jauh dari bayangan ideal yang bisa kita susun dalam pikiran dan keinginan kita, tapi apapun, bagaimanapun, kita sudah memilih, dan kitalah yang memilih.
karena merengek dan menangis tidak akan mengubah apapun, mari bersama-sama tertawa, teman.
-di tengah kepulan asap, di dalam ruangan yang entah isinya apa. eh, siapa-
Subscribe to:
Posts (Atom)